BLOG

Suharto dan Orde Baru: Dari Kekuatan yang Tak Tergoyahkan Menuju Akhir yang Terancam

Published

on

TIGER NEWS – Kekuatan yang dimiliki Suharto dan Orde Baru (Orba) dahulu dianggap sangat kuat. Ajaran-ajaran Suharto seperti Golkar, ABRI, dan birokrasi telah menjadi landasan yang tak tergoyahkan. Tidak ada yang berani mencampuri keberadaan Suharto. Namun, semuanya berubah ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi.

Suharto terkejut dan berusaha mengatasi kekacauan ekonomi tersebut. Fakta ini membuat banyak tokoh politik meminta Suharto untuk mundur dari jabatan presiden. Bahkan keluarga Cendana pun tak ketinggalan meminta Suharto untuk mengundurkan diri. Mereka ingin Suharto lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Awal kekuasaan Suharto sebagai Presiden Indonesia mendapat dukungan dari seluruh rakyat. Ia dianggap sebagai pemimpin yang mampu mengantarkan Indonesia maju di segala bidang, bahkan melebihi pemerintahan Orde Lama. Suharto membuktikan langkah-langkahnya melalui keputusan-keputusan yang tegas, terutama dalam pembangunan ekonomi.

Rakyat Indonesia juga berharap Suharto membawa era kebebasan berekspresi, yang berbeda dengan masa Orde Lama. Namun, kekuasaan itu tidak bertahan lama. Suharto dan Orde Baru justru terlihat represif. Pemimpin yang berkuasa tidak bersedia menerima kritik-kritik.

Langkah ini didukung oleh penyebaran teror yang dilakukan oleh Orde Baru. Siapa pun yang menentang kezaliman Orde Baru, pasti akan mendapatkan ganjaran yang tidak menyenangkan. Semua ini berkat Suharto yang mampu mengoptimalkan tiga pilar kekuasaannya: Partai Golkar, ABRI, dan birokrasi.

Suharto sering menggunakan segala cara untuk memenangkan partainya, Golkar, dalam setiap kontes politik. Cara-cara inilah yang membuatnya tetap bertahan di kekuasaan. Bahkan, tidak ada yang bisa menebak kapan Suharto akan jatuh dari kekuasaannya yang begitu kuat. Semua itu karena Suharto terlalu kuat.

Suharto memanfaatkan tiga pilar kekuatan tersebut, yaitu Golkar, ABRI, dan birokrasi, untuk memenangkan pemilu dan mengendalikan MPR RI dan DPR RI. Golkar selalu menang dalam setiap pemilihan sejak tahun 1971 hingga 1997, bahkan menjadi mayoritas mutlak di DPR. Sejak 1971, Golkar telah menjadi kekuatan utama dalam pemerintahan. Semua kebijakan Orde Baru diciptakan oleh Golkar dan dilaksanakan oleh militer dan birokrat. Selama puluhan tahun berkuasa, kader-kader Golkar mengendalikan posisi penting di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kemenangan Golkar dalam setiap pemilihan didukung oleh tindakan kekerasan politik dan militer. Kekerasan militer pada era Orde Baru bertujuan untuk mengendalikan dan memobilisasi pemilih agar memilih Golkar. Rakyat dipaksa dan diancam agar memilih Golkar. Dengan demikian, elit-elit Golkar dapat dipastikan terpilih untuk mewakili rakyat dalam menjalankan sistem pemerintahan, termasuk di tingkat pemerintahan daerah,” ujar Laksamana Sukardi dalam bukunya yang berjudul “Mengungkap Rekayasa 1998” (2018).

Suharto terlalu kuat bagi para lawan politiknya. Kekuasaannya sulit digoyahkan dalam waktu yang lama. Namun, semuanya berubah ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Kekacauan ekonomi ini membuat nilai tukar rupiah jatuh ke titik terendahnya.

Dampaknya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Daya beli masyarakat menurun. Banyak perusahaan yang mengalami kerugian. Pengangguran muncul di mana-mana. Fakta ini mengganggu kehidupan rakyat Indonesia.

Narasi protes muncul di mana-mana. Mahasiswa yang kekuatannya sering ditindas oleh Orde Baru mulai bergerak turun ke jalan. Mereka ingin Suharto bertanggung jawab atas krisis politik yang terjadi. Terlebih lagi, kondisi ini diperparah oleh banyak pejabat yang tidak peka terhadap kondisi rakyat.

Gerakan untuk meminta Suharto mundur bergaung di mana-mana. Suharto sendiri menolak permintaan untuk mengundurkan diri. Ia memerintahkan untuk “memukul” mereka yang menginginkannya turun. Bahkan, kondisi Suharto dan Orde Baru semakin terancam.

Mereka yang ingin Suharto turun semakin bertambah. Bahkan, pejabat-pejabat politik, termasuk Harmoko (Ketua MPR) yang dekat dengan Suharto, mengusulkan untuk menghentikan itu. Bahkan tanpa diduga, anak-anak, cucu, dan keluarga Suharto yang dikenal sebagai Keluarga Cendana juga menyarankan Suharto untuk mundur.

Keluarga Cendana merasa bahwa Suharto telah lama berada di puncak kekuasaan. Mereka berharap Suharto segera pensiun. Keinginan ini agar Suharto dapat menikmati masa tua dengan tenang. Terutama, agar ia memiliki banyak waktu untuk bermain dengan anak-anak dan cucu-cucunya.

Keluarga Cendana secara pribadi menyampaikan saran ini kepada Suharto. Bukan dalam bentuk saran resmi. Lebih tepatnya, mereka menyampaikan saran ini kepada para pejabat Partai Golkar. Namun, pilihan untuk mundur yang disarankan oleh Keluarga Cendana menjadi salah satu faktor penentu berakhirnya kekuasaan Jenderal selama 32 tahun. Dan era reformasi pun dimulai.

Menurut Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), putri Suharto, jauh sebelum insiden tersebut terjadi dan permintaan Harmoko agar Suharto mengundurkan diri, keluarga Suharto sendiri telah meminta Suharto untuk mundur sebagai presiden.

Keluarga tersebut berargumen bahwa mereka telah melayani negara dan bangsa selama waktu yang lama, sehingga sudah waktunya untuk beristirahat bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Terkait permintaan Tutut ini, apakah pernah disampaikan kepada DPP Golkar? Menurut Harmoko, sejauh yang dia tahu, tidak pernah, meskipun Tutut sendiri adalah anggota FKP dan DPP Golkar,” jelas politikus Golkar, Akbar Tandjung, dalam bukunya yang berjudul “Jalan Golkar” (2007).

Perluasan Golkar dan kekuasaan yang dipegang Suharto selama bertahun-tahun memberikan dampak yang besar dalam politik Indonesia. Namun, semuanya berubah ketika krisis ekonomi melanda negara tersebut. Tekanan dari masyarakat yang terdampak dan gerakan protes yang semakin meluas membuat kekuasaan Suharto terancam.

Permintaan dari berbagai pihak, termasuk pejabat politik dan keluarga sendiri, agar Suharto mengundurkan diri menjadi semakin kuat. Meskipun awalnya menolak dan bahkan menggunakan kekerasan untuk membungkam protes, akhirnya Suharto harus menghadapi kenyataan bahwa kekuasaannya sudah tidak dapat dipertahankan.

Dengan keluarnya Suharto dari jabatan presiden, era reformasi dimulai di Indonesia. Hal ini membawa perubahan signifikan dalam sistem politik dan tatanan sosial di negara tersebut. Orde Baru yang dulu begitu kuat dan otoriter, mulai mengalami kemerosotan dan masyarakat Indonesia memasuki era baru yang menjanjikan kebebasan ekspresi dan demokrasi yang lebih luas.

Meskipun Suharto pernah dianggap sebagai pemimpin yang mampu membawa kemajuan ekonomi dan stabilitas politik, tetapi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan korupsi yang meluas juga menjadi warisan yang tak terelakkan dari pemerintahannya.

Kini, Indonesia terus bergerak maju, membangun institusi demokrasi yang lebih kuat, dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembentukan masa depan negara. Peristiwa jatuhnya Suharto dan Orde Baru telah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya pengawasan yang ketat terhadap kekuasaan politik dan perlunya transparansi serta akuntabilitas dalam pemerintahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version